ARDnusantara.com, -- Perputaran uang di suatu wilayah kini menjadi permasalahan serius bagi para pelaku usaha mikro lokal tempatan serta konsumen itu sendiri, hal ini di dasarkan oleh banyaknya penduduk di wilayah itu terikat hutang karena membeli barang-barang dengan cara kredit.
Saat ini kita melihat begitu banyaknya perusahaan pembiayaan (leasing) yang tumbuh subur menjamur dalam satu wilayah dengan berbagai promosi yang dilakukan, sehingga membuat penduduk dengan mudah membeli barang dengan cara berhutang (kredit) walau hanya bermodalkan KTP dan Kartu Keluarga saja.
Apa yang terjadi kemudian adalah, sektor mikro perdagangan barang dan jasa menjadi terdampak akibat dari porsi uang yang dibelanjakan menjadi berkurang.
Mari kita ambil contoh sederhana sebagai analisa, jika dalam satu keluarga membeli sepeda motor dengan cara berhutang (Kredit), maka porsi belanja untuk pengeluaran kebutuhan lain dipastikan akan berkurang, hal inilah yang kemudian akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi masyarakat tempatan karena uang yang seharusnya tetap beredar dalam wilayah itu harus keluar ke wilayah lain.
Alasannya cukup sederhana, hampir semua perusahaan pembiayaan (Leasing) yang beroperasi di wilayah itu hanyalah berupa kantor perwakilan saja, dimana semua uang yang telah disetorkan oleh masyarakat setiap bulannya kemudian akan di transfer ke kantor pusat yang berada di wilayah lain dan mirisnya hal ini akan berlangsung selama bertahun-tahun lamanya sesuai dengan jangka waktu kredit (Tenor) yang telah di sepakati bersama.
Bisa dibayangkan jika jumlah konsumen/nasabah yang membelanjakan uangnya dalam bentuk membayar angsuran kredit setiap bulan mencapai angka puluhan hingga ratusan ribu orang dalam satu wilayah, maka potensi defisit dari perputaran uang masyarakat itu sendiri akan berdampak buruk bagi perekonomian warga Tempatan terutama pada sektor mikro.
Data yang diambil dari berbagai sumber dan referensi serta analisa dan pengalaman dari penulis sendiri mengasumsikan bahwa perusahaan-perusahaan leasing yang beroperasi di suatu wilayah kabupaten saja berpotensi memilki ratusan ribu akun nasabah yang terikat akad kredit baik itu kredit kendaraan mobil/motor, elektronik, hingga peralatan rumah tangga.
Mari kita ilustrasikan jika ada 100.000, ribu orang saja dalam wilayah itu membeli sepeda motor dengan cara kredit, dengan asumsi Down Payment (DP) Rp.1.5 juta hingga 3 juta, untuk setiap 1 unit sepeda motor, dengan nominal angsuran sekitar Rp.900,ribuan setiap bulan, serta tenor selama 3 Tahun, maka ada potensi uang masyarakat yang akan di bawa keluar dari wilayah itu sebanyak Rp.90.000.000.000,00 milyar dalam setiap bulannya dan ini hampir setara dengan setengah dari rata-rata APBD di wilayah itu jika di akumulasi dalam kurun waktu pertahunnya.
Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab dugaan kenapa sektor barang dan jasa terutama pada sektor ekonomi mikro menjadi tidak lagi bergairah seperti beberapa dekade yang lalu.
Jika saja perputaran uang yang terjadi tetap berada di wilayah dimana perusahaan leasing itu berdiri, maka kondisi perekonomian masyarakat terutama di sektor perdagangan dan jasa tetap bisa tumbuh subur dan berkembang hingga hari ini.
Saat ini jika kita perhatikan hampir di setiap rumah yang memiliki sepeda motor, barang-barang elektronik bahkan peralatan dan perabotan rumah tangga di beli dengan cara kredit dan parahnya hal ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gaya hidup dari masyarakat itu sendiri.
Maka jangan heran jika kemudian kita melihat banyak para pedagang termenung di suatu lapak atau toko karena sunyi nya pembeli, jangan heran juga jika kemudian banyak para pedagang tidak lagi berjualan dan beralih profesi ke bidang lain karena usaha yang di geluti sudah tidak memiliki pengharapan lagi.
Lemahnya daya beli saat ini bukan saja diakibatkan dari pendapatan masyarakat yang turun atau rendah, faktor lain yang menjadi penyebabnya juga karena adanya liability yang harus dibayarkan dalam bentuk angsuran kredit yang diduga sudah di luar kewajaran, sehingga porsi belanja untuk hal-hal yang lain menjadi berkurang atau bahkan nyaris tidak ada sisa kecuali hanya untuk membeli kebutuhan hidup sehari hari.
Selain itu, hal miris yang terjadi di lapangan menunjukan fakta justru beberapa diantara mereka yang telah membeli sepeda motor dengan cara kredit, tidak memenuhi standar analisa kelayakan, dikarenakan adanya indikasi bahwa kategori mereka yang tidak mampu sekalipun masih bisa mendapatkan kredit tersebut sehingga kuat dugaan ini sebenarnya merupakan sebuah penyimpangan, karena telah mengenyampingkan analisa kredit dalam hal kemampuan untuk membayar.
Hal yang sama juga terjadi pada mereka-mereka yang bekerja sebagai agen marketing terindikasi tidak lagi memprioritaskan dari segi kelayakan dan kepantasan dari para calon konsumen/nasabah dan terkesan memaksakan, sehingga hanya demi mengejar target untuk mendapatkan bonus dan insentif yang telah di janjikan oleh perusahaan, mereka mengabaikan aturan, yang berakibat pada banyaknya kredit macet hingga penarikan unit kendaraan demi mencari bonus/insentif semata.
Padahal jika kita melihat dari kemampuan bayar seseorang menurut analisa keuangan berdasarkan kebutuhan, porsi uang yang boleh dikeluarkan untuk membayar berbagai angsuran kredit semestinya maksimal hanya 30% dari total penghasilan, karena 70% sisanya akan digunakan untuk keperluan pembelian kebutuhan pokok,pembayaran listrik dan air dan kebutuhan lainnya serta alokasi dana untuk kebutuhan yang tak terduga.
Namun pada kenyataan nya analisa-analisa kelayakan itu hanya berupa prosedur formal di atas kertas semata, karena tidak menutup kemungkinan justru 70% dari total penghasilan hanya untuk membayar berbagai angsuran kredit dan hanya menyisakan 30% untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari, dan perlu digaris bawahi jika hal ini tidak segera di antisipasi akan berpotensi menggerus ekonomi rakyat dan output nya adalah tumbuhnya angka kemiskinan baru.
Selayaknya lah para Stakeholder terkait untuk ikut andil dalam melakukan bimbingan serta pengawasan terhadap setiap perusahaan-perusahaan leasing yang beroperasi diwilayahnya, apalagi jika ada indikasi melanggar aturan serta kearifan lokal yang terkesan memaksakan serta mengabaikan aturan hanya demi mengejar keuntungan semata, karena jika tidak ada pengawasan, bukan tidak mungkin akan menjadi ancaman bagi ekonomi masyarakat Tempatan sebab uang yang telah dibayarkanpun akan menjadi sia-sia akibat gagal membayar angsuran bulan berjalan karena analisa yang terkesan terabaikan.
Terakhir yang harus menjadi atensi kita bersama adalah, patut mempertanyakan apakah perusahaan-perusahaan leasing yang telah berdiri dan beroperasi dihampir seluruh kabupaten kota di Indonesia itu sudah melakukan kewajibannya dengan memberikan CSR kepada masyarakat Tempatan dimana mereka beroperasi, sebab ratusan milyar hingga triliunan rupiah profit/laba yang telah dihasilkan sudah dinikmati oleh para pemilik perusahaan yang notabene nya mereka adalah pemilik perusahaan non plat merah.
Penulis: Fitra Andriyan (Wartawan Media Online)