RDnusantara.com. Pada Desember 2024 lalu, isu kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% ramai diperbincangkan di kalangan khalayak ramai. Pemerintah dalam keputusannya akhirnya, memutuskan untuk membatalkan rencana ini, dengan alasan stabilitas ekonomi dan menjaga daya beli masyarakat agar tidak terjadi frugal living. Keputusan ini menimbulkan berbagai pendapat, baik yang mendukung maupun yang mempertanyakan. Pihak yang mendukung memandang langkah ini sebagai bentuk perlindungan terhadap daya beli masyarakat di tengah tekanan naiknya inflasi. Di sisi lain kritik juga muncul dari kalangan yang menganggap pembatalan kenaikan PPN dapat memperlambat upaya pemerintah dalam menyeimbangkan anggaran negara. Dari perspektif mikroekonomi, langkah ini memberikan implikasi menarik untuk dianalisis.
Dalam teori mikroekonomi daya beli masyarakat sangat dipengaruhi oleh pendapatan riil, yang mengacu pada pendapatan setelah dikurangi pajak dan inflasi. Sebagai contoh sederhana, jika seorang pekerja menerima gaji Rp5 juta per bulan tetapi pengeluaran wajib seperti pajak dan harga barang meningkat, maka jumlah barang dan jasa yang dapat dibeli dengan gaji tersebut akan berkurang, sehingga daya beli riilnya menurun.
Kenaikan PPN akan meningkatkan harga barang dan jasa di pasar, mengurangi daya beli masyarakat. Sebagai contoh, barang kebutuhan pokok yang terkena PPN akan menjadi lebih mahal, sehingga konsumen harus mengurangi konsumsi atau mencari alternatif yang lebih murah. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi tahun 2024 mencapai 2,09%. Meskipun inflasi ini masih dalam batas aman, kenaikan PPN menjadi 12% dapat memberikan tekanan tambahan pada harga barang dan jasa, memicu inflasi lebih lanjut. Dalam konteks ini, membatalkan kenaikan PPN menjadi keputusan strategis untuk menjaga keseimbangan pasar dan daya beli masyarakat.
Jika tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dinaikkan menjadi 12 persen, berbagai barang dan jasa akan terpengaruh oleh perubahan tersebut seperti barang konsumsi, jasa, barang mewah, property dan perumahan, dan juga barang impor. Namun Pemerintah memutuskan bahwa kenaikan tarif 1 persen pajak pertambahan nilai (PPN) darı 11 persen menjadi 12 persen dikenakan khusus terhadap barang dan jasa mewah. Selain barang tersebut, besaran tarif PPN untuk barang dan jasa lainnya masih sesuai dengan tarif yang berlaku sejak tahun 2022 yaitu sebesar 11 persen.
Keputusan kenaikan tarif PPN untuk barang mewah secara langsung disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam keterangan persnya di Kantor Kementerian Keuangan Jakarta, pada Selasa, 31 Desember 2024. “Contoh pesawat jet pribadi itu tergolong barang mewah yang dimanfaatkan ataupun digunakan oleh masyarakat papan atas. Kemudian kapal pesiar, yacht, ya motor yacht. Kemudian rumah yang sangat mewah, yang nilainya di atas golongan menengah,” ucap Presiden. Lebih lanjut, Presiden menekankan bahwa barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat masih tetap diberlakukan tarif PPN sebesar 0 persen. “Untuk barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak yang tetap diberi pembebasan PPn yaitu tarif 0 persen antara lain kebutuhan pokok beras, daging, ikan, telur sayur, susu segar, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, rumah sederhana, air minum,” lanjutnya.
Meskipun kenaikan PPN dapat meningkatkan pendapatan negara, yang penting untuk pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik, keputusan ini perlu mempertimbangkan trade-off antara keuntungan fiskal dan dampak ekonomi mikro. Jika daya beli masyarakat menurun, konsumsi domestik juga akan melemah, yang pada gilirannya dapat menekan pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah tampaknya menyadari pentingnya menjaga keseimbangan ini. Langkah membatalkan kenaikan PPN menunjukkan komitmen untuk melindungi konsumen dan pelaku usaha kecil dari dampak negatif kebijakan fiskal yang terlalu agresif. Sebagai gantinya, pemerintah dapat mengeksplorasi sumber pendapatan lain seperti memperluas basis pajak dengan meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Kesimpulan
Keputusan untuk membatalkan kenaikan PPN menjadi 12% mencerminkan sensitivitas pemerintah terhadap kondisi ekonomi masyarakat. Dari perspektif mikroekonomi, langkah ini membantu menjaga daya beli, mencegah distorsi pasar, dan melindungi pelaku usaha kecil dari tekanan tambahan. Ke depan, kebijakan fiskal yang seimbang antara meningkatkan pendapatan negara dan mendukung kesejahteraan masyarakat harus terus menjadi prioritas.
Dengan demikian, diskusi tentang kebijakan pajak seperti PPN harus selalu mempertimbangkan dampak mikroekonominya secara mendalam, agar kebijakan yang diambil tidak hanya adil secara fiskal tetapi juga inklusif secara sosial.
Penulis:
Amelia Putri S.
Mahasiswi Semester 5 Program Studi Manajemen Bisnis Syariah di Institut Agama Islam Tazkia, Bogor